Selasa, 29 Maret 2011

Pengertian Klenteng




Kelenteng tidak sekedar tempat kehidupan keagamaan berlangsung. Tapi juga merupakan ungkapan lahiriah masyarakat yang mendukungnya. Itulah sebabnya penelitian mengenai  sebuah kelenteng dapat memberikan sumbangan sangat berharga untuk memahami sejarah sosial masyarakat Tionghoa setempat. Seperti diketahui bahwa pada masa penjajahan Belanda masyarakat Tionghoa yang digolongkan sebagai Vreemde Oosterligen (Timur Asing), dikepalai oleh pemimpin kelompok yang tunjuk oleh pemerintahan kolonial. Pemimpin ini biasanya diberi pangkat seperti letnan, kapten atau kalau jumlah penduduk Tionghoa setempat cukup banyak terdapat seorang mayor. Lalu apa hubungan antara para opsir Tionghoa ini dengan kelenteng? Tugas opsir Tionghoa selain mengawasi masyarakatnya, juga bertanggung jawab atas pemungutan pajak, mengatur monopoli terhadap barang tertentu dibidang ekonomi, mengurus kelenteng-kelenteng, serta membiayai upacara-upacara keagamaan, dan yang tidak kalah pentingnya adalah mengurus pemakaman/pekuburan. Gong-guan (Kong-kwan-Hokkian) atau dewan Tionghoa, yang dalam bahasa Belanda terkenal dengan sebutan Chineeseraad diadakan untuk membantu pekerjaan ‘administratif’ mayor Tionghoa .Jadi kedudukan opsir Tionghoa sangat penting di dalam organisasi masyarakatnya. 
Opsir Tionghoa biasanya berasal dari keluarga kaya di daerahnya. Mereka ini tidak jarang menguasai jalur perdagangan komoditas tertentu di daerahnya. Di Pasuruan keluarga opsir Tionghoa menguasai perdagangan peredaran opium serta penggilingan gula (sugar mill). Tidak jarang mereka ini mayoritas hanya berasal dari keluarga tertentu saja. Demikan juga halnya dengan di Pasuruan para opsir Tionghoa ini berasal dari keluarga Han (yang asal usulnya dari Surabaya) dan keluarga Guo (Kwee – Hokkian), yang berasal dari Semarang. Karena para opsir ini juga berfungsi sebagai pengurus kelenteng maka tidak jarang mereka ini membiayai upacara-upacara keagamaan. Pada sebuah kelenteng tidak jarang kita jumpai semacam prasasti di kelenteng tersebut. Tidak jarang nama para opsir atau penyumbang kelenteng yang lain diabadikan dalam bentuk tulisan dalam prasasti tersebut.
Sulit untuk meng-generalisasi bentuk sebuah kelenteng. Karena kelenteng sendiri selain bermacam-macam jenisnya, juga besar kecilnya sangat bervariasi. Dewa-dewa yang ada di setiap kelentengpun berbeda satu sama lain. Meskipun sebagian besar dewa yang terdapat di kelenteng Asia Tenggara pada umumnya adalah Mak co atau Mazu atau Thiansan Seng Bo.
 Tapi secara phisik bangunan kelenteng pada umumnya terdiri dari empat bagian. Yaitu: Halaman Depan, Ruang Suci Utama, Bangunan Samping dan Bangunan Tambahan. Yang pertama adalah Halaman Depan yang cukup luas. Halaman ini digunakan untuk upacara keagamaan berlangsung. Lantai halaman depan ini kadang-kadang dilapisi dengan ubin, tapi tidak jarang hanya berupa tanah yang diperkeras. Perlu dimaklumi bahwa tata cara peribadahan di kelenteng memang tidak dilakukan bersama-sama pada waktu tertentu, seperti di gereja atau mesjid. Cara peribadahan di kelenteng dilakukan secara pribadi, sehingga di dalam kelenteng tidak terdapat ruang yang luas untuk menampung umat.
 Upacara perayaan keagamaan seperti Cap Gomeh atau sembayang rebutan (pu-du, pesta Tionghoa pada pertengahan bulan ke-7, biasa disebut  juga ‘rebutan’ atau cioko), bahkan wayang Tionghoa atau potehi (bu-dai-xi), juga digelar dihalaman depan ini. Tidak jarang halaman depan ini juga dipakai untuk tempat bermain barongsai.  Di halaman depan ini biasanya juga terletak tempat pembakaran kertas (jin-lu), tiang-tiang pagoda atau tidak jarang juga sepasang singa batu (kadang-kadang tertera tahun pembuatannya).
Yang kedua, adalah Ruang Suci Utama, merupakan bagian utama dari sebuah kelenteng. Bangunan kelenteng biasanya mempunyai ragam hias yang indah dan detail sekali. Atapnya berbentuk perisai dengan ‘nok’ melengkung ditengah serta ujungnya melengkung keatas. Nok selalu sejajar dengan jalan. Diatas nok tersebut biasanya terdapat sepasang naga yang memperebutkan ‘mutiara surgawi’. Kelenteng-kelenteng kuno mempunyai hiasan yang sangat indah. Tukang-tukang sekarang jarang bisa mereparasi kembali kalau terjadi kerusakan. Tampak depannya kadangkala terdapat semacam teras tambahan. Pintu depannya terdiri dari dua daun kayu yang sering dihias dengan lukisan dua orang penjaga (men-sen). Tapi banyak kelenteng yang pintunya dibiarkan terus terbuka. Biasanya didepan atau didalam ‘ruang suci utama’ ini selalu terdapat papan yang melintang (bian-e) atau papan membujur (dui-lian), sumbangan bagi para dermawan selama berabad-abad. Dari tulisan ini kadang-kadang kita bisa mendapat informasi tentang sejarah kelenteng serta masayarakat pendukungnya dimasa lampau.  Ukuran besar dan kecilnya ruang suci utama ini berbeda pada setiap kelenteng. Tapi pada umumnya berbentuk segi empat. Di kelenteng-kelenteng besar terdapat semacam courtyard ditengahnya yang digunakan sebagai tempat pemasukan cahaya alami, serta menampung air hujan dari atap. Konstruksi utamanya adalah kolom dan balok. Tidak jarang kolom yang ada di dalam interiornya dipahat dengan dengan sangat indah. Sebuah altar utama terdapat pada dinding belakang ruang suci utama ini. Dewa utama terletak disini. Di depan altar paling tidak terdapat sebuah meja . Kadang-kadang lebih dari satu. Sering juga diapit dengan dua altar samping. Diatas meja pertama selalu terdapat tempat pedupaan. Di depan tempat pedupaan terdapat beberapa batang hio yang selalu mengepulkan asap. Di meja altar depan sering terdapat mu-yu, semacam alat bunyi-bunyian dari kayu, dan khususnya sesajen-sesajen tertentu berupa bauh-buahan, kue-kue dan makanan. Meja ini penuh makanan terutama pada hari-hari raya keagamaan. Di dekat pedupaan ini sering terdapat benda-benda penting, yang memungkinkan para dewa dapat ditanya tentang masa depan. Misalnya seperti bei-jiao (dua potong kayu berbentuk tiram yang dapat dilempar ke tanah) dan sebuah vas kayu berbentuk silinder (gian-tong), yang berisi lusinan bilah kayu (bu-qian) didalamnya. Tiap-tiap bilah cocok dengan syair yang tertulis pada secarik kertas yang merupakan jawaban sang dewa. Orang yang sembahyang mengocok vas tersebut, sampai sebilah kayu akan jatuh kelantai lalu mengambil secarik kertas bernomor yang sesuai dengan kayu tadi dari salah satu laci sebuah lemari kecil. Ada kelenteng tertentu kadang-kadang kita juga bisa meminta kertas (hoe), untuk keselamatan dan kesehatan. Besar kecil ruang suci utama ini sangat bervariasi dari satu kelenteng dengan kelenteng lainnya.
Yang ketiga, adalah ruang-ruang tambahan, ruang ini sering dibangun kemudian setelah ’ruang suci utama berdiri’. Bahkan tidak jarang dibangun setelah kelenteng berdiri selama bertahun-tahun. Hal Ini disebabkan karena adanya kebutuhan yang terus meningkat dari kelenteng yang bersangkutan.
Yang keempat adalah bangunan samping. Bangunan ini biasanya dipakai untuk menyimpan peralatan yang sering digunakan pada upacara atau perayaan keagamaan. Misalnya untuk menyimpan Kio (joli), yang berupa tandu, yang digunakan untuk memuat arca dewa  yang diarak pada perayaan keagamaan tertentu.

1 komentar: