Kamis, 17 Februari 2011

Pengertian Arsitektur Kontemporer


Meski pengaruh globalisasi memang sangat kuat dalam konstelasi jaringan ekonomi dan informasi, namun hal ini bukan berarti hilangnya akan tradisi budaya membangun, yang diwujudkan kedalam kegiatan rancang bangun, yakni seni bangunan dan seni binakota. Proses globalisasi sendiri sebenarnya tidak satu arah, namun terjadi interaksi antar yang (beberapa) kekuatan lokal dan pengaruh global. Akibatnya terjadilah sebuah percampuran yang merupakan senyawa hibrid, dan untuk persoalan ketahanan dan konsistensi, hanya waktulah yang akan mengujinya.
Terlepas dari pada itu, persoalan identitas lokal masih tetap menjadi pertanyaan tersendiri. Bukankah jati diri seseorang dan sebuah tempat tetap diperlukan meskipun dinamika pembangunan begitu cepat? Pernyataan ini membawa kepada sebuah pandangan bahwa kemajuan teknologi, dalam hal ini teknologi informasi dan komunikasi, tidak akan pernah menghilangkan kepentingan sebuah komunitas untuk mendapatkan/membangun jati dirinya dalam proses rancang bangun yang berbudaya (London, 2003). Demikianlah hal sama juga diungkapkan oleh Manuel Castells (1993) bahwa sehubungan dengan keunggulan teknologi komputer di dunia: “... local socities, territorially defined, must preserve their identities, and build on their historical roots, regarless of their economic and functional dependence upon the space of flows.”
Berbeda dengan di belahan Asia, di Eropa revolusi industri pada abad 19 yang menyertai penemuan teknologi telah menyediakan persyaratan mendasar dalam membangun revolusi intelektual dan estetika. Bauhaus di Jerman misalnya, selama periode antara PD I dan PD II telah mengembangkan kajian-kajian eksperimental dalam bidang pendidikan seni dan arsitektur. Bersamaan dengan itu, sejumlah arsitek progresif memformulasikan deklarasi Piagam Athena, yang menandai kelahiran sebuah arsitektur baru berlandaskan semangat kaum Modernis. Dengan keyakinan tinggi Le Corbusier bersama para pendukungnya menulis, mengajarkan, merencanakan dan membangun sebuah dunia baru berdasarkan kemajuan teknologi dan sains modern. Perkembangan arsitektur tersebut dikenal dengan nama gerakan arsitektur modern, yang selanjutnya melahirkan International style. Namun, akibat adanya pergeseran kekuatan politik dan distorsi visi tentang seni bangunan dan seni binakota, maka di dalam International style terjadi proses penyederhanaan dan de-kulturisasi dari semangat modernitas itu sendiri.
Akibat pemahaman yang demikian, pendekatan-pendekatan dalam desain arsitektur acapkali tidak mengindahkan konteks lingkungan, kondisi iklim dan bahkan secara kultural tidak memiliki akar yang jelas. Rancang bangun hanya sekedar persoalan geometri, bukan membentuk kepada sebuah Gestalt yang utuh. Sulitnya Negara Dunia Ketiga, seperti  Indonesia, ini selalu mendapatkan teknologi dan kemajuan setelah sekian puluh tahun berkembang di negara asalnya, misalnya Dunia Barat, tanpa mendapat kesempatan untuk melakukan internalisasi dan pendalaman dari teknologi/kemajuan tersebut. Dalam konteks Asia, hal tersebut sudah menjadi sebuah imperativ bagi para arsitek/perancang yang mencoba untuk mensenyawakan kearifan tradisi lokal dengan kebutuhan kikinian, dalam upaya menyikapi pembentukan lingkungan berkelanjutan. 
Dapat ditarik kesimpulan bahwa Arsitektur Kontemporer mempunyai ciri khas “kemajuan, modernitas, dan monumentalitas” yang sebagian besar menggunakan langgam “International Style”. Desainnya didasari oleh prinsip fungsional, kenyamanan, efisiensi, dan kesederhanaan. Pendapatnya bahwa arsitek harus memperhatikan kebutuhan fungsional suatu bangunan dan factor iklim tropis seperti temperatur, kelembaban, sirkulasi udara, dan radiasi matahari. Desainnya terekspresikan dalam solusi arsitektur seperti ventilasi silang, teritisan atap lebar, dan selasar-selasar.

1 komentar: